Teori Kondisioning Operan

APLIKASI DAN IMPLIKASI TEORI BEHAVIORISME DALAM PEMBELAJARAN

(Teori Kondisioning Operan)

Oleh : Zaenal Abidin/MTP UIA

Teori Kondisioning Operan

Pendahuluan

Pembelajaran merupakan istilah yang kini akrab dipakai dalam dunia pendidikan (khususnya pendidikan formal/persekolahan). Secara filosofis pembelajaran, pada hakikatnya, lebih bersifat membumi atau humanis, bukan hanya karena lebih menekankan pada arti pentingnya pelaksanaan proses pendidikan dengan lebih memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan anak, melainkan juga karena lebih menekankan pada arti pentingnya memenuhi kebutuhan anak serta membantu perkembangan bakat, minat dan kemampuan anak. Hanya saja, dalam praktik pendidikan keseharian, masih sering dijumpai pelaksanaan pembelajaran yang bernuansa pengajaran (instruction) daripada pembelajaran itu sendiri. Berangkat dari perkembangan yang sangat cepat dan mutakhirnya kemajuan TIK (Teknologi Informasi dan Komputer), masalah sumber belajar sudah tidak lagi berpusat pada guru. Adalah sangat mungkin bahwa peserta didik atau siswa akan belajar atau mendapatkan informasi dari software-software yang ada, misalnya melalui e-learning.

Mencermati perkembangan dan kemajuan TIK yang sangat pesat, keadaan tersebut memungkinkan bahwa informasi dan pengetahuan jauh lebih cepat dimiliki dan dikuasai oleh siswa jika dibanding oleh guru. Hal ini berkat kecepatan dan kemampuan siswa dalam mengakses sumber belajar di luar jam pelajaran. Mencermati keadaan semacam inilah menjadi sangat penting arti pentingnya untuk menengok kembali konsep-konsep psikologi pendidikan tentang belajar. Makalah ini hanya mengurai sedikit tentang teori behaviorisme dalam pembelajaran, oleh karena konsep yang ditawarkan relatif bisa diterapkan dalam proses belajar dan pembelajaran.

Konsep Belajar dan Pembelajaran Belajar secara sederhana dapat diartikan dengan membaca buku, menyelesaikan pekerjaan rumah, mengeja tulisan, sebagaimana yang sering kita dengar dari ungkapan orang tua kepada anaknya “ayo belajar yang benar, jangan bermain-main saja, pokoknya membaca apa saja”. Batasan makna yang demikian ini sejalan dengan sifat belajar itu sendiri, yaitu makna deskriptif. Dalam kondisi seperti apa dan sejauh mana anak bisa mendapatkan tambahan informasi dan pengetahuan, inilah yang diharapkan terjadi dalam aktivitas belajar. Dalam konteks ini, cukup penting untuk mencermati terjadinya perubahan pada diri siswa, dan penting juga untuk mengetahui dari mana informasi serta pengetahuan itu diperoleh.

Konsep belajar, secara umum, dapat dilihat dari tiga perspektif aliran, yaitu: nativisme, empirisme dan organismik. Paham nativisme lebih memandang bahwa belajar adalah suatu aktivitas berupa melatih daya ingat atau otak (interaksi anak dengan objek belajar, misalnya buku, majalah) agar menjadi tajam, sehingga mampu memecahkan persoalan atau masalah yang akan dihadapi dalam kehidupan. Paham ini lebih beranggapan bahwa anak dapat dikatakan telah belajar jika pada gilirannya dia mampu menerapkan atau mengaplikasikan konsep-konsep pengetahuan yang didapat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini berarti apa yang telah didapat oleh siswa tersebut dapat ditransfer atau dipindah dalam sektor atau masalah yang lain. Dengan demikian, belajar dalam kacamata nativisme dapat dimaknai sebagai terjadinya perubahan struktural pada diri anak. Tegasnya adalah perubahan cara berpikir dan menganalisis persoalan yang ada di sekitarnya. Dengan sendirinya, paham nativisme lebih mementingkan olah pikir otak atau kecerdasan otak dalam proses belajar.

Berbeda dengan paham nativisme, paham empirisme memaknai belajar sebagai suatu aktivitas menambah informasi atau pengetahuan dan atau pengayaan adanya bentuk pola-pola respons baru yang mengarah pada perubahan tingkah laku siswa. Dengan demikian, kegiatan belajar guru lebih banyak menekankan arti pentingnya siswa, misalnya berupa kegiatan menghapal materi/rumus. Jika hal ini yang menjadi titik tekan, maka munculnya perubahan tingkah laku dalam pembelajaran lebih banyak diharapkan adanya. Sebab, hal inilah yang dapat diamati dan diukur sebagai hasil dari respons terhadap objek belajar baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik.

Paham organismik memandang bahwa belajar adalah terjadinya perubahan perilaku dan pribadi siswa secara keseluruhan. Sehingga, belajar di sini bukan saja merupakan bentuk respons secara mekanistik belaka, melainkan merupakan perubahan yang sifatnya komprehensif-simultan di antara beberapa unsur atau komponen yang ada dalam diri anak, yang mengarah pada suatu tujuan tertentu. Segala hal yang dihasilkan dari aktivitas siswa; apakah dari membaca, mendengar, memperhatikan, atau mencermati, akan dapat membawa pada munculnya perubahan pada diri anak. Dengan kata lain, anak telah mengalami proses belajar.

Menurut Abin Syamsuddin Makmun (1983), belajar dapat diartikan sebagai terjadinya perubahan pada diri individu yang belajar, dan yang dimaksudkan dengan perubahan dalam konteks belajar itu dapat bersifat fungsional atau struktural, material dan perilaku serta keseluruhan pribadi yang bersifat multi dimensi. Perubahan tingkah laku ini, menurut Oemar Hamalik (1978: 42), mengandung perubahan segi jasmani (struktural) dan rohani (fungsional), yang keduanya saling berinterkasi. Pola tingkah laku yang semacam ini terdiri atas aspek pengetahuan, pengertian, sikap, keterampilan, kebiasaan, emosi, budi pekerti, apresiasi, jasmani, hubungan sosial, dan lain-lain.

Walaupun ketiga paham atau aliran di atas memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda, namun ketiganya mempunyai inti makna substantif yang sama, yaitu bahwa belajar dapat dimaknai dengan suatu aktivitas individu baik secara fisik, psikis baik berupa membaca, mengamati, mendengar dan melihat segala macam objek belajar yang ada di sekitarnya sehingga membawa pengaruh pada dirinya dalam bersikap, bertingkah laku, dan berbuat dalam kehidupan sehari-hari.

Teori Operant Conditioning

Psikologi penguatan atau “operant conditioning” merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori koneksionisme dan “conditioning”. Tokoh utamanya adalah Skinner. Skinner adalah seorang pakar teori belajar berdasarkan proses “conditioning” yang pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkah laku adalah karena adanya hubungan antara stimulus dengan respons. Menurut Skinner, tingkah laku bukanlah sekedar respons terhadap stimulus, tetapi merupakan suatu tindakan yang disengaja atau operant. Ini dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya.

Skinner membedakan dua macam respons, yakni respondent response (reflexive response) dan operant response (instrumental respons). Respondent response adalah respons yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu, misalnya perangsang stimulus makanan menimbulkan keluarnya air liur. Respons ini relatif tetap. Artinya, setiap ada stimulus semacam itu akan muncul respons tertentu. Dengan demikian, pe¬rangsang-perangsang yang demikian itu mendahului respons yang ditimbulkannya.

Operant response atau instrumental response adalah respons yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian yang disebut reinforcer, karena perangsang-perangsang tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan organisme. Jadi dengan demikian, perangsang tersebut mengikuti dan memperkuat suatu tingkah laku yang telah dilakukan. Misalnya, jika seseorang telah belajar melakukan sesuatu lalu men¬dapat hadiah sebagai reinforcer, maka ia akan menjadi lebih giat dalam belajar.

Pada perilaku manusia respondent response bersifat sangat terbatas, oleh karena itu sangat kecil untuk dapat dimodifikasi. Sebaliknya, operant response atau instrumental response sifatnya tidak terbatas, oleh karena itu kemungkinan untuk dapat dimodifikasi sangat besar. Dengan demikian, untuk mengubah tingkah laku, dapat meng¬gunakan instrumental response.

Program pembelajaran yang terkenal dari Skinner adalah “programmed instruction” dengan menggunakan media buku. Dalam pengajaran berprogram, bahan ajaran tersusun dalam potongan bahan kecil-kecil, dan disajikan dalam bentuk informasi dan tanya jawab. Suatu respons diperkuat oleh penghargaan berupa nilai yang tinggi dari kemampuannya menyelesaikan soal-soal ujian. Pemberian nilai adalah penerapan teori penguatan yang disebut juga dengan “operant conditioning”

Sebelum masuk dalam pembahasan, ada baiknya kita melihat pada prinsip-prinsip belajar menurut teori behaviorisme adalah sebagai berikut:

a. Proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila siswa ikut terlibat secara aktif di dalamnya

b. Materi pelajaran diberikan dalam bentuk unit-unit kecil dan diatur sedemikian rupa sehingga hanya perlu memberikan suatu respons tertentu saja

c. Tiap-tiap respons perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga siswa dapat dengan segera mengetahui apakah respons yang diberikan betul atau tidak

d. Perlu diberikan penguatan setiap kali siswa memberikan respons apakah bersifat positif atau negative.

Teori behavioristik

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman [1].

Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).

Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement;(3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).

Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik.

Tokoh dan Pendapat Teori Behavioristik tentang Belajar dan Pembelajaran

Aliran behavioristik yang lebih bersifat elementaristik memandang manusia sebagai organisme yang pasif, yang dikuasai oleh stimulus-stimulus yang ada di lingkungannya. Pada dasarnya, manusia dapat dimanipulasi, tingkah lakunya dapat dikontrol dengan jalan mengontrol stimulus-stimulus yang ada dalam lingkungannya (Mukminan, 1997: 7). Masalah belajar dalam pandangan behaviorisme, secara umum, memiliki beberapa teori, antara lain: teori Connectionism, Classical Conditioning, Contiguous Conditioning, serta Descriptive Behaviorisme atau yang lebih dikenal dengan nama Operant Conditioning.

Tokoh-tokoh penting yang mengembangkan teori belajar behavioristik, dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Thorndike

Teori koneksionisme yang dipelopori oleh Thorndike, memandang bahwa yang menjadi dasar terjadinya belajar adalah adanya asosiasi antara kesan panca indera (sense of impression) dengan dorongan yang muncul untuk bertindak (impuls to action) (Mukminan, 1997 : 8). Ini artinya, toeri behaviorisme yang lebih dikenal dengan nama contemporary behaviorist ini memandang bahwa belajar akan terjadi pada diri anak, jika anak mempunyai ketertarikan terhadap masalah yang dihadapi. Siswa dalam konteks ini dihadapkan pada sikap untuk dapat memilih respons yang tepat dari berbagai respons yang mungin bisa dilakukan. Toeri ini menggambarkan bahwa tingkah laku siswa dikontrol oleh kemungkinan mendapat hadiah external atau reinforcement yang ada hubungannya antara respons tingkah laku dengan pengaruh hadiah.

Bagi guru yang setuju dengan teori behaviorisme ini mengasumsikan bahwa tingkah laku siswa pada hakikatnya merupakan suatu respons terhadap lingkungan yang lalu dan sekarang, dan semua tingkah laku yang dipelajari (Sri Esti Wuryani Djiwandono, 1989: 51). Mencermati asumsi ini, apa sebenarnya tugas utama guru? Yakni, bagaimana guru mampu menciptakan lingkungan belajar (lingkungan kelas atau sekolah) pada diri siswa yang dapat memungkinkan terjadinya penguatan (reinforcement) bagi siswa. Lingkungan yang dimaksud di sini bisa berupa benda, orang atau situasi tertentu yang semuanya dapat berdampak pada munculnya tingkah laku anak yang dimaksud. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan sebagai berikut :

Siswa- suka mengganggu- pengacau

Siswa- suka menyendiri- pendiam

Siswa- buku, computer- paham,terampil

Mencermati paparan gambar di atas, dapat dipahami bahwa siswa yang memiliki perangai suka mengganggu (Jawa : usil) terhadap temannya pada setiap waktu (dan teman tersebut juga bersikap kooperatif mau menanggapi obrolan dia, sehingga lingkungan bersifat kondusif atau memberikan penguatan), maka kondisi semacam ini menjadikan siswa tersebut memiliki sikap untuk senantiasa berperilaku sebagai pengacau. Sebaliknya, pada contoh B, karena lingkungan tidak memberikan penguatan (reinforcement) terhadap sikap atau tingkah laku siswa (sehingga dia bersikap suka), kondisi semacam ini menjadikan siswa berperilaku sebagai seorang pendiam. Sedangkan pada contoh C, siswa yang berada dalam lingkungan berupa ketersediaan sumber belajar (berupa buku, majalah, komputer dan sejenisnya, sehingga hal ini memberikan penguatan pada diri siswa), maka hal ini menjadikan siswa paham, mengerti dan terampil dalam menggunakan sumber belajar terebut).

Menurut Thorndike, belajar akan berlangsung pada diri siswa jika siswa berada dalam tiga macam hukum belajar, yaitu : 1) The Law of Readiness (hokum kesiapan belajar), 2) The Law of Exercise (hukum latihan), dan 3) The Law of Effect (hukum pengaruh). Hukum kesiapan belajar ini merupakan prinsip yang menggambarkan suatu keadaan si pembelajar (siswa) cenderung akan mendapatkan kepuasan atau dapat juga ketidakpuasan. Dalam konteks ini, Mukminan (1997 : 9) menyatakan bahwa ada 3 keadaan yang mungkin terjadi :

1. Jika suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, maka konduksi dengan unit tersebut akan membawa kepuasan.

2. Jika suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, tetapi tidak berkonduksi, maka akan menimbulkan ketidakpuasan.

3. Jika suatu unit konduksi yang tidak siap berkonduksi dipaksakan untuk berkonduksi, maka konduksi itu akan menimbulkan ketidakpusan.

Proses belajar pada diri siswa akan terjadi jika si anak berada dalam kondisi siap untuk belajar (berinteraksi dengan lingkungan). Di antara indicator anak dalam kondisi siap belajar adalah :

1. Anak dapat mengerti dan memahami orang lain (guru, teman, dan orang lain yang ada di sekolah). Dalam kondisi seperti ini, anak tidak akan merasa asing, atau tidak punya teman untuk meminta tolong, sebagaimana jika dia berada di rumah dekat dengan orang tuanya.

2. Anak berani mengutarakan apa yang ada dalam benak pikiran atau keinginannya (karena ada orang yang akan melindungi dan melayaninya, misalnya mau kencing ke belakang, tidak punya alat tulis, bukunya ketinggalan, dan sejenisnya)

3. Anak dapat memahami dan mampu melakukan apa yang diperintahkan atau diajarkan oleh gurunya.

Hukum latihan ini mengandung 2 macam hukum, yaitu 1) low of use, yaitu hubungan akan menjadi bertambah kuat jika ada latihan, dan 2) low of disuse, yaitu hubungan akan menjadi melemah atau terlupakan kalau latihan dihentikan.

Hukum ini mengandung makna bahwa proses belajar pada diri anak (terampil jika diminta mempraktikkan, dapat menjelaskan ketika ditanya, karena si anak sering berlatih uji keterampilan atau senantiasa membaca), akan berhasil atau tidak berhasil sangat ditentukan oleh seberapa banyak dan efektif latihan yang diterima.

Semakin sering dan banyak siswa melakukan latihan, akhirnya dia akan terampil melakukannya. Semakin sering siswa membaca atau mengulangi materi yang dipelajari, maka anak akan menjadi semakin tahu dan paham.

Sedangkan hukum hasil ini mengisyaratkan bahwa makin kuat dan atau makin lemahnya suatu hubungan sebagai akibat dari hasil respons yang dilakukan. Ini artinya hadiah yang diterima anak atau prestasi belajar yang memuaskan dapat diraih, akan berakibat diulanginya atau dilanjutkannya respons atau perbuatan dimaksud. Sebabnya, adalah karena apa yang ia lakukan dipahami sehingga akan dapat membawa hadiah atau membawa keberhasilan.

2. Pavlov

Konsep teori yang dikemukakan oleh Ivan Petrovitch Pavlov ini secara garis besar tidak jauh berbeda dengan pendapat Thorndike. Jika Throndike ini menekankan tentang hubungan stimulus dan respons, dan disini guru sebaiknya tahu tentang apa yang akan diajarkan, respons apa yang diharapkan muncul pada diri siswa, serta tahu kapan sebaiknya hadiah sebagai reinforcement itu diberikan; maka Pavlov lebih mencermati arti pentingnya penciptaan kondisi atau lingkungan yang diperkirakan dapat menimbulkan respons pada diri siswa. Sebagai ilustrasi yang dilakukan oleh Pavlov adalah percobaannya pada seekor anjing. Dia berharap agar air liur ajing itu bisa keluar bukan karena adanya suatu makanan, akan tetapi oleh adanya kondisi tertentu yang sengaja dibuat. Singkatnya, percobaan Pavlov :

Dari contoh tersebut di atas jika kita kaitkan dengan proses pembelajaran, dapat dianalogkan bahwa jika guru berharap siswa dapat menghapalkan materi berupa ayat pada surat Al- Waqi`ah (di mana siswa harus hapal semua ayat), dan ternyata siswa ini dapat menghapalkannya. Kemudian dalam kondisi seperti ini anak tidak mendapatkan nilai akhir (raport) yang lebih baik (dibanding dengan kawan yang lain), maka jika kelak suatu ketika ia diminta untuk menghapalkan lagi dia tak akan berusaha menghapalkannya (karena ia tahu hapal pun besok tidak akan mendapat nilai yang baik). Dalam segmen bagian akhir dari contoh di atas, anak diminta menghapalkan suatu ayat dan kepadanya disediakan pula sejumlah hadiah (misalnya gratis SPP) setiap saat, maka anak itu dengan sendirinya akan terus berusaha untuk dapat menghapalkan ayat dimaksud (karena ia tahu hal ini akan membawa hasil, yaitu mendapatkan hadiah).

3. E.R Guthrie

Pendapat Thorndike dan Pavlov ini ditegaskan lagi oleh Guthrie, di mana ia menyatakan dengan hukumnya yaitu “The Law of Association”, yang berbunyi : “A combination of stimuli which has accompanied a movement will on its recurrence tend to be followed by that movement” (Guthrie, 1952 : 13). Secara sederhana dapat diartikan bahwa gabungan atau kombinasi suatu kelas stimuli yang menyertai atau mengikuti suatu gerakan tertentu, maka ada kecenderungan bahwa gerakan itu akan diulangi lagi pada situasi/stimuli yang sama.

Mencermati pernyataan di atas dapat dimengerti bahwa menurut Guthrie, belajar itu memerlukan hadiah (reward) dan adanya kedekatan antara stimulus dengan respons. Selain itu, adanya suatu hukuman (punishment) atas ketidakmampuan siswa dalam melaksanakan sesuatu tugas, ada sisi baiknya dan juga ada sisi buruknya. Efektif tidaknya (sisi baik) hukuman itu sangat tergantung pada apakah hukuman itu menyebabkan siswa menjadi belajar ataukah malah menjadi malas belajar.

Konsep yang dikemukakan oleh Guthrie ini berisi makna bahwa belajar pada diri siswa terjadi tidak harus mengulang-ulang urutan antara hubungan stimulus dengan respons, serta tidak memerlukan adanya hadiah. Dia menyatakan bahwa belajar itu akan terjadi oleh karena adanya contiguity (hubungan kontak antara stimulus dengan respons). Tidak menjadi soal apakah respons didapat selama latihan dengan unstimulus (US) atau dengan cara lain, sepanjang stimulus dan respons terjadi secara bersama-sama, maka belajar itu terjadi (Sri Esti Wuryani Jiwandono, 1989: 56)

Berdasarkan teori ini, yang menjadi tugas guru (agar menjadikan siswa belajar) adalah memberikan stimulus kepada siswa, agar nantinya siswa mau merespons dan ini memudahkan siswa untuk belajar. Stimulus yang diberikan ini dapat berupa penciptaan suatu media atau ilustrasi pada bidang materi tertentu.

Guru memberikan suatu lambang tertentu lalu diikuti dengan penjelasan dan lambang yang lain yang semisal dan semakna, maka dalam setiap kali berhadapan dengan lambang yang sama (sebagaimana yang diberikan oeh guru) dengan sendirinya siswa akan teringat lambang atau makna yang dimaksud.

Sebagai contoh, seorang pembina pramuka ingin menjadikan peserta didiknya hafal huruf-huruf Morse (dengan tidak memberikan materi huruf Morse sebagaimana yang ada dalam buku saku), pembina kemudian mengilustrasikan dan mengambil contoh pada huruf abjad tertentu, misalnya huruf “D”. Bagaimana huruf morsenya pada huruf “D” ini?. Kita dapat mengasosiasikan dan mengilustrasikan bagaimana proses pembuatan/penulisan huruf “D” ini. Yang terjadi kebiasaan orang dalam menulis huruf abjad “D” adalah dengan menggoreskan alat tulis berupa garis tegak lurus dari atas ke bawah, kemudian diikuti dengan garis melengkung setengah lingkaran menghadap ke kiri mulai dari atas ke bawah (mengarah pada gerakan tangan ke kanan).

Dalam konteks ini, guru menerangkan bahwa garis tegak itu tandanya strip ( - ), sedangkan garis melengkung itu ternyata dapat dikatakan ada 2 (dua) garis datar (1 di atas dan 1 ada di bawah) maka 2 (dua) garis datar inilah yang menjadi lambang titik ( . . ). Dengan demikian, dapat ditarik suatu benang merah bahwa huruf morse abjad “D” adalah : - . . Sebagai pancingan ilustrasi lagi, bagaimana dengan morsenya huruf “B”. Sejurus kemudian kita akan dapat menyimpulkan bahwa lambang morsenya huruf “B” adalah - . . . . Hal ini karena dalam huruf “B” ada 1 (satu) garis tegak dan 3 (tiga) garis datar, benar bukan ?.

Prinsip Umum Aplikasi Teori Behavirostik Dalam Pembelajaran

Teori behaviorisme yang menekankan adanya hubungan antara stimulus (S) dengan respons (R) secara umum dapat dikatakan memiliki arti yang penting bagi siswa untuk meraih keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak memberikan stimulus dalam proses pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespons secara positif apa lagi jika diikuti dengan adanya reward yang berfungsi sebagai reinforcement (penguatan terhadap respons yang telah ditunjukkan). Oleh karena teori ini berawal dari adanya percobaan sang tokoh behavioristik terhadap binatang, maka dalam konteks pembelajaran ada beberapa prinsip umum yang harus diperhatikan. Menurut Mukinan (1997: 23), beberapa prinsip tersebut adalah:

1. Teori ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang bersangkutan dapat menunjukkan perubahan tingkah laku tertentu.

2. Teori ini beranggapan bahwa yang terpenting dalam belajar adalah adanya stimulus dan respons, sebab inilah yang dapat diamati. Sedangkan apa yang terjadi di antaranya dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati.

3. Reinforcement, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respons, merupakan faktor penting dalam belajar. Respons akan semakin kuat apabila reinforcement (baik positif maupun negatif) ditambah. Jika yang menjadi titik tekan dalam proses terjadinya belajar pada diri siswa adalah timbulnya hubungan antara stimulus dengan respons, di mana hal ini berkaitan dengan tingkah laku apa yang ditunjukkan oleh siswa, maka penting kiranya untuk memperhatikan hal-hal lainnya di bawah ini, agar guru dapat mendeteksi atau menyimpulkan bahwa proses pembelajaran itu telah berhasil. Hal yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Guru hendaknya paham tentang jenis stimulus apa yang tepat untuk diberikan kepada siswa.

2. Guru juga mengerti tentang jenis respons apa yang akan muncul pada diri siswa.

3. Untuk mengetahui apakah respons yang ditunjukkan siswa ini benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan, maka guru harus mampu :

a. Menetapkan bahwa respons itu dapat diamati (observable)

b. Respons yang ditunjukkan oleh siswa dapat pula diukur (measurable)

c. Respons yang diperlihatkan siswa hendaknya dapat dinyatakan secara eksplisit atau jelas kebermaknaannya (eksplisit)

d. Agar respons itu dapat senantiasa terus terjadi atau setia dalam ingatan/tingkah laku siswa, maka diperlukan sekali adanya semacam hadiah (reward).

Aplikasi teori behavioristik dalam proses pembelajaran untuk memaksimalkan tercapainya tujuan pembelajaran (siswa menunjukkan tingkah laku / kompetensi sebagaimana telah dirumuskan), guru perlu menyiapkan dua hal, sebagai berikut:

a. Menganalisis Kemampuan Awal dan Karakteristik Siswa Siswa sebagai subjek yang akan diharapkan mampu memiliki sejumlah kompetensi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar, perlu kiranya dianalisis kemampuan awal dan karakteristiknya. Hal ini dilakukan mengingat siswa yang belajar di sekolah tidak datang tanpa berbekal apapun sama sekali (mereka sangat mungkin telah memiliki sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang di dapat di luar proses pembelajaran). Selain itu, setiap siswa juga memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam hal mengakses dan atau merespons sejumlah materi dalam pembelajaran.

Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh guru jika melakasanakan analisis terhadap kemampuan dan karakteristik siswa, yaitu :

1. Akan memperoleh gambaran yang lengkap dan terperinci tentang kemampuan awal para siswa, yang berfungsi sebagai prasyarat (prerequisite) bagi bahan baru yang akan disampaikan.

2. Akan memperoleh gambaran tentang luas dan jenis pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa. Dengan berdasar pengalaman tersebut, guru dapat memberikan bahan yang lebih relevan dan memberi contoh serta ilustrasi yang tidak asing bagi siswa.

3. Akan dapat mengetahui latar belakang sosio-kultural para siswa, termasuk latar belakang keluarga, latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.

4. Akan dapat mengetahui tingkat pertumbuhan dan perkembangan siswa, baik jasmaniah maupun rohaniah.

5. Akan dapat mengetahui aspirasi dan kebutuhan para siswa.

6. Dapat mengetahui tingkat penguasaan bahasa siswa.

7. Dapat mengetahui tingkat penguasaan pengetahuan yang telah diperoleh siswa sebelumnya.

8. Dapat mengetahui sikap dan nilai yang menjiwai pribadi para siswa (Oemar Hamalik, 2002 : 38 -40)

b. Merencanakan materi pembelajaran yang akan dibelajarkan Idealnya proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh siswa dan juga sesuai dengan kondisi siswa, sehingga di sini guru tidak akan over-estimate dan atau under-estimate terhadap siswa. Namun kenyataan tidak demikian adanya. Sebagian siswa ada yang sudah tahu dan sebagian yang lain belum tahu sama sekali tentang materi yang akan dibelajarkan di dalam kelas. Untuk dapat memberi layanan pembelajaran kepada semua kelompok siswa yang mendekati idealnya (sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik masing-masing kelompok) kita dapat menggunakan dua pendekatan yaitu

a). siswa menyesuaikan diri dengan materi yang akan dibelajarkan, yaitu dengan cara guru melakukan tes dan pengelompokkan (dalam hal ini tes Muh. Hizbul Muflihin, Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme… 132 dilakukan sebelum siswa mengikuti pelajaran), atau b). materi pembelajaran disesuaikan dengan keadaan siswa (Atwi Suparman, 1997 : 108).

Materi pembelajaran yang akan dibelajarkan, apakah disesuaikan dengan keadaan siswa atau siswa menyesuaikan materi, keduanya dapat didahului dengan mengadakan tes awal atau tes prasyarat (prerequisite test). Hasil dari prerequisite test ini dapat menghasilkan dua keputusan, yaitu : siswa dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yakni a) sudah cukup paham dan mengerti, serta b) belum paham dan mengerti. Jika keputusan yang diambil siswa dikelompokkan menjadi dua di atas, maka konsekuensinya: materi, guru dan ruang belajar harus dipisah.

Hal seperti ini tampaknya sangat susah untuk diterapkan, karena berimplikasi pada penyediaan perangkat pembelajaran yang lebih memadai, di samping memerlukan dana (budget) yang lebih besar. Cara lain yang dapat dilakukan adalah, atas dasar hasil analisis kemampuan awal siswa dimaksud, guru dapat menganalisis tingkat persentase penguasaan materi pembelajaran. Hasil yang mungkin diketahui adalah bahwa pada pokok materi pembelajaran tertentu sebagian besar siswa sudah banyak yang paham dan mengerti, dan pada sebagian pokok materi pembalajaran yang lain sebagian besar siswa belum atau tidak mengerti dan paham.

Rencana strategi pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru terhadap kondisi materi pembelajaran yang sebagian besar siswa sudah mengetahuinya, materi ini bisa dilakukan pembelajaran dalam bentuk ko-kurikuler (siswa diminta untuk menelaah dan membahas di rumah atau dalam kelompok belajar, lalu diminta melaporkan hasil diskusi kelompok dimaksud). Sedangkan terhadap sebagian besar pokok materi pembelajaran yang tidak dan belum diketahui oleh siswa, pada pokok materi inilah yang akan dibelajarkan secara penuh di dalam kelas.

Sedangkan langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan teori behaviorisme dalam proses pembelajaran adalah :

1. Mengidentifikasi tujuan pembelajaran.

2. Melakukan analisis pembelajaran

3. Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal pembelajar

4. Menentukan indikator-indikator keberhasilan belajar.

5. Mengembangkan bahan ajar (pokok bahasan, topik, dll)

6. Mengembangkan strategi pembelajaran (kegiatan, metode, media dan waktu)

7. Mengamati stimulus yang mungkin dapat diberikan (latihan, tugas, tes dan sejenisnya)

8. Mengamati dan menganalisis respons pembelajar

9. Memberikan penguatan (reinfrocement) baik posistif maupun negatif, serta

10. Merevisi kegiatan pembelajaran (Mukminan, 1997: 27).

Aplikasi dalam Pembelajaran
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktivitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.

Teori belajar behavioristik dengan pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Dalam teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.
Beberapa prinsip penerapan teori belajar ini adalah: (1) belajar itu berdasarkan keseluruhan; (2) anak yang belajar merupakan keseluruhan; (3) belajar berkat insight (4) belajar berkat insight; dan(5) belajar berdasarkan pengalaman.

Teori Gestalt menganggap bahwa keseluruhan itu lebih memiliki makna dari bagian-bagian. Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam keseluruhan. Makna dari prinsip ini adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dari suatu masalah. Melalui masalah itu siswa dapat mempelajari fakta.
Prinsip anak yang belajar merupakan keseluruhan mengandung pengertian bahwa membelajarkan anak itu bukanlah hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Oleh karenanya mengajar itu bukanlah menumpuk memori anak dengan fakta-fakta yang lepas-lepas, tetapi mengembangkan keseluruhan potensi yang ada dalam diri anak.

Telah dijelaskan bahwa insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Dengan demikian, belajar itu akan terjadi manakala dihadapkan kepada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah menghafal fakta. Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku individu.

Penutup

Teori behavioristik sebagai sebuah konsep filosofis pembelajaran dalam aplikasinya memerlukan penyesuaian dan penetapan prosedur yang berbeda jika dibanding dengan percobaannya terhadap binatang. Ciri umum teori behavioristik adalah : mementingkan adanya pengaruh lingkungan, bagian (elementaristic) lebih penting dari pada keseluruhan (gestalt). Selain itu, terbentuknya hasil belajar atas dasar adanya reaksi yang ditunjukkan oleh siswa. Penerapan konsep teori behavioristik ini juga meminta guru untuk mampu melakukan analisis kemampuan awal dan karaakteristik siswa, dengan maksud agar apa yang akan dibelajarkan sesuai dengan kondisi siswa yang dihadapi.

Kesimpulan

Belajar menurut teori behavioristik merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Prinsip penerapan teori belajar ini adalah: (1) belajar itu berdasarkan keseluruhan; (2) Anak yang belajar merupakan keseluruhan; (3) Belajar berkat insight (4) Belajar berkat insight; dan (5) Belajar berdasarkan pengalaman.

Belajar menurut teori behavioristik merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Prinsip penerapan teori belajar ini adalah: (1) belajar itu berdasarkan keseluruhan; (2) Anak yang belajar merupakan keseluruhan; (3) Belajar berkat insight (4) Belajar berkat insight; dan (5) Belajar berdasarkan pengalaman.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muh. 1978. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.

Davies, WCR. 1971. The Management of Learning. London: Mc Graw Hill Book

Company.

Ghafur, Abdul. 1980. Disain Instruksional. Suatu Langkah Sistematis

Penyusunan Pola Dasar Kegiatan Balajar dan Mengajar. Solo: Tiga

Serangkai.

Hamalik, Oemar. 2002. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan

Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.

Mukminan. 1997. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: P3G IKIP.

Pereivel & Ellington. 1984. A Handbook of Educational Technology. London:

Koga Page Ltd.

Suparman, Atwi. 1997. Desain Instruksional. Jakarta: Pusat Antar Universitas.

Wuryani Djiwandono, Sri Esti. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons